Selasa, 28 Juli 2009

Teori Cinta

Primadita Herdiani


Cinta tak harus memiliki. Dan aku tak pernah memilikinya. Dia berlalu begitu saja di depanku menggandeng perempuan yang bukan aku. Selalu begitu, bertepuk sebelah tangan saja, atau tepatnya melambai sebelah tangan, karena hanya itu yang bisa kulakukan. Hanya bisa menyapa sambil tersenyum terpaksa. Arga, aku naksir dia. Tapi Arga lebih suka Sinta. Apa karena Sinta lebih putih dari Santi? Ah, aku cuma bercanda. Saat ini hanya itu yang bisa kulakukan. Memandang cinta itu lewat.

“Sabar,” Lina sahabatku menenangkanku. Bila aku curhat padanya ia diam mendengar tak berkedip. Tapi tak memberi solusi. Kata Lina, cinta adalah pengorbanan. Aku terus korban perasaan. Hati serasa jari tergigit, sakit! Apalagi ketika melihat Arga dan Sinta bercanda mesra lewat depan kelasku. Ugh! Begitu tertusuk!

Kata orang-orang, Cinta itu memberi, tak berharap kembali. Aku ikhlas memberi seluruh hatiku pada Arga, bahkan kalau ia meminta seluruh jiwa raga ini, aku siap memberikannya, namun Arga diam saja. Tak pernah meminta. Aku merasa seperti penjual pulsa di tengah hutan. Termangu menanti pembeli yang tak pernah ada. Lelah kutawarkan cinta ini padanya. Dan Arga tetap setia menunggu Sinta di gerbang sekolah.

Lalu kusadari cinta itu buta. Aku tak pernah melihat keberadaannya. Cintaku pada Arga telah begitu membutakan, hingga aku tak mampu melihat yang lain. Pokoknya cuma Arga ! Titik! Tak mau yang lain. Walau Doni memberi sebatang coklat saat valentine. Atau Prana menyelipkan sekuntum bunga di laci meja. Semua itu tak berasa apa-apa. Aku malah tertawa, Valentine hari untuk pria menerima pernyataan cinta. Bukan sebaliknya. Kalau aku memang suka Doni, akulah yang akan memberi coklat padanya. Dan bunga dari Prana, hanya bunga liar yang di petiknya dari pinggir jalan. Menyebalkan!

Aku jatuh cinta pada Arga, tapi aku tak pernah bisa mendapatkannya. Walau dengan teori cinta paling mutakhir sekalipun. Segala teori tentang cinta, seribu satu di antaranya. Tak ada yang mampu menyelesaikan rasa ini pada Arga. Memuakkan! Semuanya hanyalah pembenaran atas derita cinta yang kurasa.*


****

Rabu, 13 Mei 2009

Layla,Mimpi-Mimpi Sang Petualang

Banyak sekali kejadian yang benar-benar tak enak dalam hidupku.Mulai dari ibu ku yang menghilang..lost contact,,hilang begitu saja tanpa pesan.Tak sampai disitu saja deritaku,tak tahu karena apa aku harus pindah rumah.Kesana kemari,pindah-pindah,tak tahu rumah ku yang benar yang mana.Mungkin kalian tak pernah membayangkan bagaimana rasanya anak berumur 7 tahun yang harus hidup sendiri,tak tahu lagi harus berbuat apa.

Mungkin kalian bertanya-tanya,kenpa aku harus sendiri?Ibuku kemana?Ayahku dimana?Yahh..aku juga sering bertanya pada diriku sendiri.Sebenarnya mereka kemana??Tapi,itu semua sudah takanku pikirkan lagi,mungkin dengan begini aku bisa belajar buat lebih dewasa.Kawan,asal kalian tahu,hidup sendiri tanpa orang tua selagi kalian belum cukup umur itu memang tak seindah yang kalian bayangkan.Tapi inilah hidupku,hidup Layla,hidup seorang anak jalanan yang harus berjuang demi takdir yang tak pernah adil.Namun,aku harus tetap kuat menjalani semua ini.Semua mimpi-mimpiku harus ku raih.Sebenarnya mimpi ku tak setinggi anak-anak lain.

to be continued..

Minggu, 01 Maret 2009

kedaulatan rakyat,20 Juli 2008

PACARKU BUKAN SUPIR

Oleh Primadita Herdiani


Aku bungsu dari empat bersaudara. Kakakku ketiganya perempuan. Cantik-cantik semua. Diantara semua anak ayah ibu aku yang paling jelek. Kakakku yang pertama manis dan supel. Kakakku yang kedua pendiam. Tidak banyak omong tapi gesit sekali. Kakakku yang ketiga yang paling cantik. Putih, mulus, seksi. Selain itu ia juga cerdas, sungguh perpaduan ala putri Indonesia. Aku bungsu yang malang. Kulitku hitam legam. Wajahku pas-pasan. Aku sering merasa terbuat dari bibit ayah yang tinggal sisa-sisa. Dan rahim ibu yang buruk kondisinya. Semua yang baik dari ayah ibu telah diberikan pada ketiga kakakku. Yah inilah aku bungsu yang buruk rupa, tak punya pacar lagi.

Betapa sepinya malam mingguku. Tak ada canda tawa di teras seperti kak Rani kakak pertamaku. Atau jalan-jalan di Mall seperti kak Mei kakak keduaku, nonton film dan makan-makan berdua saja setelah jalan-jalan. Kak Nina kakakku yang secantik putri Indonesia. Asyik bertelepon mesra dengan pacarnya yang di luar negeri. Aku sendirian nonton TV dengan gelisah. Atau membolak-balik komik sewaan di kamar.

Aku juga ingin punya pacar, supaya malam mingguku tak sesepi ini. Aku ingin ada yang mendengar curahan hatiku, membelaiku, memanjakanku. Tapi tak mudah mencari pacar bagiku, selain kecantikan ketiga kakakku yang menutupi keberadaanku di keluarga ini. Ayah juga mempunyai syarat aneh buat cowok yang ingin menjadi pacar anak-anaknya.

Ayah mempunyai sebuah mobil tua. Mobil yang dibeli sebelum kak Rani lahir. Mobil tua merah marun itu sekarang teronggok di garasi. Tak bisa jalan lagi. Ayah sangat menyayangi mobil itu, bagi ayah mobil itu adalah anak pertamanya. Cowok yang ingin jadi pacar anak gadisnya, harus bisa memperbaiki mobil itu, lalu mengajak ayah jalan-jalan keliling kota dengan disetiri sendiri.

Ini syarat yang berat, karena selain harus bisa mbengkel, juga harus bisa nyupir. Ngebengkel sih gampang tinggal bawa mobil itu ke bengkel tedekat. Tapi menyupirinya yang susah. Sebab tak semua cowok bisa nyupir. Sebab dalam syarat ayah, menyupiri mobil itu tak bisa digantikan orang lain. Harus si calon pacar itu sendiri. Dan lagi tak mudah menyupiri mobil tua itu. Semua peralatannya kuno. Pacar kak Rani yang jago nyetir truk konteiner saja tak mampu membelokkan mobil itu dengan mudah. Hampir saja menabrak pagar. Tapi untunglah ia bisa lolos dari ujian ayah.

Sebenarnya saat ini aku sedang didekati Andri. Cowok satu sekolah tapi beda kelas. Ia tidak bisa nyupir. Waktu pertama ke rumah ia naik sepeda. Ayah sudah memamerkan kacak pinggangnya waktu Andri datang. Ayah sungguh tak mengerti aku. Bagiku mendapat pacar tak semudah ketiga kakakku. Giliran ada yang mau ayah pasang tampang begitu. Aku khawatir Andri tak mau datang lagi. Kalau begini cara ayah bisa-bisa aku jadi perawan tua. Aku tak kan bisa mengecap kebahagiaan bercinta di masa muda. Aku tak mau kehilangan momen indah itu.

“Ayah, mohon pengertiannya, Pacarku bukan supir.” Kutempel kertas bertuliskan kalimat itu di pintu kamar ayah.*